Cerita Debi Sintia: Lentera Senja


 kurang lebih sekitar tahun 2017 aku bertemu dengan seorang sahabat yang sangat memotivasiku mencicipi abu-abu kehidupan di masa depan. darinya aku belajar untuk menjadi matahari dimanapun aku berdiri mulai dari sikap toleransi hingga bagaimana cara mencintai negeri ini melalui sebuah komunitas yang sebenarnya gagal untuk kami kembangkan, namun aku masih ingat kalimat super kami yaitu "apa gunanya kaya jika tidak bermanfaat bagi orang lain, apa gunanya pintar jika tidak bisa menjadi guru bagi orang lain, dan apa gunanya tampan rupawan jika akhlak dan Budi pekertinya busuk" walaupun tidak terealisasikan dengan baik setidaknya kalimat itu tetap selalu mengiringi setiap langkahku hingga saat ini, semoga saja sahabatku itu selalu menikmati hidup yang bahagia dimanapun ia berada.


namun, tulisan ini bukanlah berkisah tentangnya. tulisan ini murni berbicara tentang aku yang sudah berkelana jauh dan menemukan lentera baru, tentang perasaan seorang nona terhadap tuan yang kini menjadi lentera bagi hidupnya. aku ingat sekali kenapa dulu aku memberi nama komunitas itu dengan sebutan lentera senja, jawaban sederhananya adalah karena lentera itu memiliki sedikit cahaya, namun sedikit cahaya itu menyelamatkan kita dari butanya gelap langit senja menuju malam. sebuah filosofi sederhana besutan bocah SMA dan anak yang doyan nongkrong di warnet waktu itu.


dulu hingga sekarang pun aku begitu sangat mencintai senja tanpa tau alasannya kenapa, aku suka saat dimana langit biru yang di tutupi awan tipis dibalut cahaya matahari kemerahan yang tenggelam di terkam rotasi bumi yang teratur hingga langit mulai gelap dan digantikan oleh bulan dan bintang sebagai pemandu lalu lalang aktivitas makhluk yang ada di bumi. 


bagiku aku adalah senja, aku adalah langit kemerahan yang hangat itu. aku hangat untuk sesaat sampai matahari tergelincir dari pusatnya diterkam gelapnya malam lantas aku hilang seketika. namun, aku tidak butuh bulan dan bintang sebagai penerang. bagiku bulan dan bintang terlalu jauh layaknya matahari dan lagi-lagi ku tegaskan aku bukanlah matahari. aku adalah langit senja yang terletak di atmosfer yang menyelimuti bumi untuk manusia, bagiku menjadi matahari itu melelahkan karena terlalu sempurna untuk tata Surya.


aku si senja ini tidak membutuhkan bulan dan bintang sebagai penerang, aku hanya butuh sedikit cahaya lentera untuk aku berjalan dalam gelapnya malam dan aku menemukannya. dia adalah tuan pemegang lentera.


ia adalah tuan yang juga hangat bagi manusia dibumi namun dingin untuk dirinya sendiri. ia adalah tuan pemegang lentera dengan penuh kesederhanaan dimanapun ia berpijak. ia adalah tuan yang mampu melebarkan senyum nona gila ini dengan barang-barang dan kegiatan sederhana. dan ia adalah tuan yang membuat nona ini mencintai kesederhanaan karakter po dalam film kungfu panda.


bagiku ia adalah orang yang pintar namun suka terlihat bodoh, kebodohannya selalu membuat aku kagum dan bahagia. berkali-kali aku bertemu tuan pemegang lentera lain tapi aku selalu kembali merasakan cahaya yang di bawa olehnya.


ia adalah seorang pemimpin tapi aku tak pernah merasa mendapat perintah darinya, malah sebaliknya dan aku suka tapi aku salah. ia suka menggerutu dan mengeluh, namun keluhannya adalah kenyamanan untukku. ya begitulah perasaan nona ini tuan, berkali-kali nona ini mencoba lupa dan membuang barang pemberian mu namun berkali-kali juga suara lonceng khasmu ini terngiang dalam alam bawah sadarku.


dan kini biarkan nona ini menikmati kesederhanaan itu lewat kata-kata dan tulisan tak beraturan ini, karena nona ini telah muak menjadi bijaksana seperti yang didambakan seluruh makhluk yang ada di bumi, nona ini telah lelah menjadi matahari. jadi, biarkan nona ini kembali menjadi langit senja dan bawalah lentara itu sebagai penerang untuk ku yang kini tertatih berjalan dalam gelapnya malam setiap hari.

Support By:

Posting Komentar untuk "Cerita Debi Sintia: Lentera Senja"