Cerita Debi Sintia: Kebenaran

 aku adalah anak yang terlahir abu-abu, tidak tau apa yang benar dan apa yang salah. sejak kecil aku hidup dengan penuh kebohongan mungkin hal ini tidak hanya aku sendiri yang merasakannya tapi bagi sebagian manusia di luar sana pasti juga merasakan hal yang sama. Istilah "orang lain hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar" ini banyak mojok dimana-mana, namun kalimat itu adalah kalimat dari sahabatku yang selalu terekam dalam alam bawah sadarku hingga aku menulis tulisan ini.


dalam kalimat yang memang benar adanya itu menyimpan jati diri manusia yang sebenarnya, karena memang hidup seperti itu. kita hanya ingin mendengar apa yang ingin kita dengar terlepas dari kebenaran yang sesungguhnya yang nantinya akan diartikan melalui gerakan non verbal manusia itu sendiri. bagi sebagian orang terkhususnya wanita kebohongan adalah hal yang tidak dapat di toleransi, padahal jika di kaji lebih dalam lagi kebohongan itu perlu diterapkan karena wanita adalah makhluk yang memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dibandingkan lelaki. bukan berarti aku tidak mendukung sesama wanita, karena menurutku kebohongan juga adalah hal yang tidak bisa di toleransi. Akan tetapi sebagai seorang manusia yang kini lebih tumbuh dan berkembang dalam menjajaki dunia ini, dalam menjalin hubungan dengan manusia lainnya terkadang kebohongan juga perlu di ungkapkan untuk sekedar "cari aman" dengan kata lain sebagai penenang bagi sebagian orang.


mungkin bukan hanya aku tapi manusia di luar sana memiliki kecemasan yang bermacam-macam sehingga pada saat kecemasan menyerang dirinya ia hanya perlu lingkungan yang dapat meredakan kecemasannya dengan cara berbohong untuk sementara waktu agar ia tenang dan berfikir lebih jernih lagi. 


lantas muncul beberapa pernyataan lebih baik jujur tapi menyakitkan atau bohong tapi senangnya hanya sesaat. apakah ini berlaku untuk setiap situasi ? tentu tidak. aku pernah merasakan kebohongan yang pernah di ucapkan oleh orang lain dan aku memilih untuk percaya hingga saat ini agar aku tidak merasakan kesenangan yang sesaat. walaupun yang namanya manusia pasti memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi dan akhirnya mengorek serta menguji kembali kebenaran tersebut dan menyakitkan tentunya. untuk beberapa waktu setelah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya kita mungkin kesal, marah, tidak terima dan emosi itu manusiawi. Lantas apakah kebohongannya bisa berubah ? tentu bisa jika perlu di ubah. apa perlu sebuah konfirmasi ulang untuk sebuah kebenaran? jika menyangkut hidup orang banyak mungkin perlu.


namun jika difikirkan kembali kenapa mereka tega berbohong, mungkin kebohongan yang di ungkapkan adalah sebuah kalimat penenang agar kita tetap baik-baik saja untuk sementara waktu. 


bicara tentang kebohongan, ini juga berimbas kepada kampanye dari para calon pemimpin di ruang lingkup manapun. apakah semua janji serta visi dan misi yang di kampanyekan adalah kebohongan? tentu tidak. itu adalah sebuah cita-cita, sama halnya kita di 7 tahun tepatnya di sekolah dasar yang selalu dihujani pertanyaan "nanti kalau sudah besar mau jadi apa?". 


sebagai manusia yang memang terlahir sebagai seorang pemimpin tentunya selalu ingin hidup yang menyenangkan walaupun itu tidak mungkin mudah untuk di dapatkan karena memang sejatinya hidup adalah sebuah gelombang bagi setiap manusia. 


dalam sebuah film yang di garap Joko Anwar yang berjudul Gundala, ada seorang tokoh bernama gazhul yang mengatakan "musuh utama manusia adalah kebenaran yang disembunyikan" jika kita hanya membaca sepenggal kalimat tentu akan memunculkan banyak perdebatan namun jika melihat keseluruhan dari film dan menangkap pesan apa yang ingin di sampaikan sutradara tentu kita tau kemana arah pesan tersebut. akan tetapi kehidupan ini bukanlah film berdurasi 3 jam yang bisa kita nikmati dengan segelas karamel dingin dan popcorn di kursi bioskop. ini adalah kehidupan nyata yang mana kebenaran juga perlu di sembunyikan untuk sementara waktu hingga keadaan membaik dan tidak muncul kecemasan.


Support By:

Posting Komentar untuk "Cerita Debi Sintia: Kebenaran"