Cerita Debi Sintia: Pohon Kelapa

Setengah dari manusia yang ada di bumi ini menganggap privilege adalah di atas segalanya, termasuk tertanam dalam mindset mereka “lo akan bahagia kalo lo kaya, lo bisa kuliah setinggi apapun, belajar kemanapun, dan bisa membeli apapun termasuk keadilan dalam suatu Negara” sedangkan orang yang tidak memiliki privilege menganggap bahwa “makan aja susah, mana mungkin aku bisa kayak dia sekolah tinggi dan belajar yang nyaman apalagi bahagia”. Tulisan ini ku buat saat aku berusia 20 tahun, usia dimana aku menapaki masa transisi dari remaja ke dewasa muda. Menjadi 20 tahun di tahun 2020 bagiku adalah tantangan yang berat, bukan aku menganggap sepele kehidupan senior-senior di atas ku yang mungkin memiliki masalah yang serupa, tapi ya namanya juga usia 20 tahun juga baru kali ini aku rasakan, untungnya masih di beri kehidupan sampai ke usia 20 tahun.

Tapi di usia ini kadang mau mati saja rasanya, di era ku ini disebut quarter life crisis perasaan yang di alami manusia yang memasuki seperempat abad pada usia manusia sekita 18-30 tahun. Pada usia seperti ini adalah masa dimana manusia mulai mencari jati diri yang sesungguhnya namun karena nyatanya kehidupan tak segampang pengucapannya sebagian manusia akan mengalami kekhawatiran yang berlebihan, bingung, tak memiliki arah dan tujuan yang jelas, galau berkepanjangan dalam memikirkan kehidupan di masa yang akan datang.

Dan aku mengalaminya, tepat di usia 20 tahun masa dimana wabah Covid-19 datang menyerang seperti joker yang membuat kekacauan di Gotham city sayangnya tidak ada Batman yang secepat kilat datang menyelamatkan. Wabah yang seketika merubah kebiasaan penduduk bumi saat itu berlangsung sangat lama bahkan saat tulisan ini terbit pun masih ada, hanya saja manusia sudah mulai terbiasa dengan keadaan yang terjadi (ya iyalah udah setahun).

Keadaan yang memaksa untuk berdiam diri dirumah ini adalah keadaan yang sangat menyiksa, di satu sisi aku suka di satu sisi lainnya aku menjadi manusia monoton yang tidak tau harus berbuat apa. Aku mencoba mengubah pola kebiasaan ku untuk tetap bisa belajar hal-hal baru hingga aku mendapatkan satu komentar dari satu orang terdekatku, orang yang petuahnya selalu aku dengarkan kurang lebih berbunyi seperti ini “kalau kita belajar tentang satu hal jangan terlalu fokus, nanti juga pada saat kita kerja kita belum tentu kerja dalam bidang itu” kalimat yang sebenarnya sederhana tapi membuat otakku bekerja dua kali lipat dari biasanya.

Apa aku salah selama ini belajar begitu keras? Apakah aku salah mengikuti organisasi yang begitu banyak? Apakah aku salah bertemu banyak orang yang padahal sebenarnya aku sendiri tidak suka? Itu semua terus menghantui alam bawah sadarku. Mungkin terdengar berlebihan tapi pertanyaan inilah yang terus menghantui fikiran ku setiap aku terdiam bahkan menuju tidur. Apakah selama ini aku salah ?

Aku mulai terlalu hanyut daam fikiran yang sebenarnya negatif untuk diriku sendiri ini. belum selesai masalah di atas, muncul lagi satu masalah baru yang menyebalkan, sebagai mahasiswi semester 7 saat itu ada satu manusia yang satu angkatan denganku dengan lancarnya menyelesaikan studinya di strata satu. Jujur aku panik aku merasa makin tidak berguna aku merasa aku adalah wanita berusia 30 tahun yang tidak memiliki pencapaian apa-apa sedangkan manusia lain di luar sana sudah hidup bahagia.

Lantas apasih sebenarnya bahagia itu ? apakah lulus tepat waktu ? punya rumah dan mobil di usia 20 tahun ? terkenal ? apa ? apa sebenarnya yang membuat manusia itu bahagia. Hingga kutemukan satu jawaban bahwa kebahagiaan setiap manusia itu berbeda, ada yang bahagia posting foto di akun instagram dan mendapatkan like ribuan, ada yang bahagia berjalan kaki dengan lelahnya mendaki puncak gunung makan, minum dan tidur seadanya, bahkan ada yang bahagia bisa memecahkan potongan warna dalam rubrik dalam waktu 30 menit.

Nyatanya kebahagiaan itu beragam seperti gugusan pulau yang terjajar dari sabang hingga merauke yang disebut Indonesia. Setiap manusia memiliki porsi yang berbeda, kita tidak bisa memaksa vegetarian makan daging, bahkan kita tidak bisa memaksa orang yang alergi makan ikan untuk makan ikan. Begitu pula dengan kebahagiaan. Lantas pemikiran ini ku kembalikan lagi pada diriku sendiri.

Kenapa aku selalu melakukan hal yang sebenarnya aku tidak suka ? kenapa aku tetap bertemu banyak orang padahal sebenarnya aku tidak suka ? kembali ku ingat apa yang sebenarnya ku alami 20 tahun yang lalu sejak aku lahir. Apa yang ku lihat, dengar, dan rasakan selama 20 tahun aku hidup di bumi sudah cukup menjadi alasan kenapa aku harus hidup melawan arus seperti ikan salmon. Bahkan sebuah alasan kenapa aku bisa merantau dengan memegang prinsip “Do what you don’t like to do” sudah menjadi bukti bahwa hingga saat ini aku bisa belajar banyak hal.

Hingga kembali ku putuskan untuk hidup sesuai dengan apa yang ada di depan mataku, lantas bagaimana omongan orang yang ku patuhi itu ? apakah aku berdosa tidak mendengarkan petuahnya ? tidak, aku tidak berdosa karena aku tau porsi diriku. Orang lain yang bisa mengomentari diri kita adalah orang yang tidak mengerti apa yang kita alami dan rasakan, karena yang paham dengan diri kita adalah kita sendiri.

Lantas kenapa judul tulisan ini adalah pohon kelapa ? padahal tulisan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan keanekaragaman hayati. Karena pada saat tulisan ini ku buat aku memiliki prinsip baru yaitu “ kalau aku pohon kelapa kemanapun aku di tanam aku tetap pohon kelapa, mau di hutan tropis, di sabana, bahkan di pantai sekalipun aku tetap pohon kelapa. Perjuanganku hanya satu, aku harus tumbuh tinggi menjulang ke atas dan bermanfaat bukan berjuang untuk jadi pohon yang lain”.

Jadi buat kamu yang membaca tulisan ini, jangan berusaha membuahkan pisang untuk orang lain padahal kamu adalah pohon rambutan, karena itu tidak mungkin bisa terjadi. bahagia mu kamu sendiri yang menentukan bukan orang lain, lakukan apapun yang kamu suka ini hidup mu bukan hidup mereka. Kamu bisa sukses dengan caramu sendiri, dengan waktumu sendiri, dan dengan kebahagiaanmu sendiri.  

Support By:

Posting Komentar untuk "Cerita Debi Sintia: Pohon Kelapa"